Sunday, December 7, 2008

"Barangsiapa yang mempunyai kelapangan, namun tidak berkorban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat solat kami" (sunan Ibn Majah, 3123)


SELAMAT HARI RAYA AIDIL - ADHA (1429 Hijrah)

Saya disini mengambil kesempatan mengucapkan selamat Hari Raya aidil-adha kepada umat islam semoga pengorbanan yang dilalui mendapat keredhaan Allah Subhanawataala. bagi mereka yang balik kampung supaya berhati-hati dijalan raya dan sentiasa perihatin terhadap aspek-aspek keselamatan. Tidak lupa kepada mereka yang mengerjakan Haji akan mendapat Haji yang mabrur. wassalam

Konsep Korban dalam Islam

Setiap tanggal 10 Dzulhijjah umat Islam memperingati Hari Raya Korban. Dzulhijjah adalah di antara bulan-bulan yang memiliki keutamaan tersendiri. Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada hari-hari, di mana amalan saleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada (amalan soleh) di 10 hari pertama (bulan Dzulhijjah). Para Sahabat bertanya: Apakah termasuk jihad di jalan Allah? Beliau bersabda: Ya, termasuk jihad (yang dilakukan di luar 10 hari tsb), kecuali orang yang pergi (berjihad) dengan nyawa dan hartanya, dan dia tidak kembali lagi. HR. Bukhari

Di antara amalan soleh terpenting di bulan Dzulhijjah, selain ibadah haji adalah ibadah korban. Berkenaan dengan fadilat korban ini dapat kita lihat Hadis berikut ini: Wahai Rasulullah SAW, apakah korban itu? Rasulullah menjawab: "Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim." Para Sahabat bertanya:"Apa keutamaan yang akan kami peroleh dengan qurban itu?" Rasulullah menjawab:"Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan". Mereka menjawab:"Kalau bulu-bulunya?" Rasulullah menjawab: "Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan". (HR. ibn Majah).

Di samping itu, Rasulullah SAW juga bersabda:"Barangsiapa yang mempunyai kelapangan, namun tidak berkorban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat solat kami" (sunan Ibn Majah, 312
3)

Makna Korban

Korban dalam bahasa arab berakar kata dari qaruba. Akar kata ini membentuk kata: qurb (dekat), taqarrub (mendekatkan diri) aqriba' (kerabat) dsb. Menurut para pakar bahasa Arab, korban bermakna suatu saranan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah (lihat: Ma'ani l-Qur'an). Al-Mawardi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa korban adalah amal kebajikan yang ditujukan menggapai Rahmat Allah. Sedangkan dalam Mu'jam Wasith korban bererti segala bentuk amalan untuk bertaqarrub kepada Allah, baik berupa penyembelihan maupun lainnya.

Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya memetik Sabda Nabi kepada Ka'b: "Wahai Ka'b! Puasa itu adalah perisai dan solat itu adalah korban". Lebih lanjut dalam kitab Hilyatul Auliya' dijelaskan sebagai berikut:

"Solat adalah korban dari setiap orang yang bertakwa

Haji itu adalah bentuk jihad dari setiap orang yang lemah

Zakat badan adalah puasa

Pendakwah tanpa amalan bagai pemanah tanpa busur.

Pancinglah turunnya rezeki dengan bersedekah

Bentengilah hartamu dengan zakat".

Qurb (dekat) yang menjadi derivasi kata Qurban mempunyai erti sebagai kondisi istiqamah yang sejalan dengan perintah Allah, ketaatan dan memaksimalkan waktu untuk beribadah kepada-Nya
(Lathaif al-I'lam).

Dalam hal ini, Abul Qasim al-Junaid (w.297H) memberi contoh makna qurb sebagai berikut:
Ketahuilah! Sesungguhnya Allah mendekati hati hamba-hambaNya sesuai apa yang Dia ketahuhi dari kedekatan hati hamba-hambaNya kepadaNya. Maka perhatikanlah, perihal apakah yang mendekati pada hatimu?

Takwa dan Korban

Allah berfirman: "Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil: "SesungguhnyaAllah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". (al-Maidah: 27)

Al-Mawardi dalam tafsirnya menukil pendapat Abdullah bin 'Umar tentang sebab diterimanya korban Habil, dikeranakan beliau mempersembahkan harta terbaiknya yang berupa tanaman sebagai korbannya. Sedangkan ditolaknya korban Qabil ditolak karena dia bersifat minimalis dalam mempersembahkan hartanya.

Maka keikhlasan sebagai ruh takwa adalah kualifikasi diterimanya sebuah korban. Sebab takwa memiliki makna lahir dan batin. Makna lahiriyah takwa diukur dari sejauhmana seorang hamba memperhatikan batasan-batasan (hudud) yang telah ditetapkan Allah. Sedangkan makna batinnya ditentukan oleh keikhlasan dalam setiap amalannya. (lihat: al-Risalah al-Qusyairiyyah, I/308)

Allah berfirman: "Daging-daging(unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik". (al-Hajj: 37)

Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa Redha Allah tidak akan sampai pada pemilik daging-daging yang disedekahkan dan darah-darah yang mengalir dari haiwan yang dikorbankan kecuali jika dia melandasi amalannya dengan niat ikhlas dan memperhatikan syarat-syarat taqwa saat berkorban.

Secara ilmiah, takwa berarti menjaga jiwa dari sesuatu yang ditakuti (ja'lun nafs fi wiqayatin mimma yakhaf). Makna takwa ini dapat kita ketahui dari penjelasan hadis Nabi saw., "Hindarilah (ittaqu, dari kata taqwa) api neraka walau dengan sebutir kurma, jika tidak punya sebutir kurma, maka gunakan kata yang baik". (HR. Bukhari)

Sedangkan secara syar'i, takwa berarti menjaga jiwa dari segala yang mengotorinya, yaitu dengan meninggalkan semua yang dilarang. Orang yang bertaqwa adalah yang menjadikan ketaatannya hanya untuk Allah dan mematuhi perintah-Nya sebagai pelindung dari azab-Nya. Kesemuanya ini berjalan sempurna dengan meninggalkan hal-hal dibolehkan (mubah) tapi mengandung syubhat,
sehingga dia tidak terperosok kedalam hal yang diharamkan.

Oleh karena itu, Ibn'Umar berkata: "Seorang hamba tidak akan mencapai takwa yang hakiki sehingga dia meninggalkan gejolak (niatan buruk) dalam dadanya". (Shahih Bukhari, kitabul iman)

Dalam pandangan Sufi yang lurus, takwa menempati maqam tertinggi, kerana takwa menghindari hal-hal yang tidak disukai (makruh). Taqwa mendindingi seseorang dari segala yang dicintai dan dicarinya; seperti menjauhi kekufuran dengan keimanan, kesyirikan dengan tauhid, riya' dengan ikhlas, dusta dengan jujur, curang dengan nasihat, maksiat dengan taat, bid'ah dengan ittiba', syubhat dengan wara', dunia dengan zuhud, lalai dengan zikir, saitan dengan ta'awudz, neraka dengan menjauhi amalan buruk, dan menghindari semua kejahatan dengan kebaikan yang menjadi penyelamatnya.

Maka menurut kaum sufi, takwa itu ada 4 perkara:

1. Sangat takut dari dosa-dosa di masa silam, di mana kenikmatannya telah sirna tetapi balasan
dosanya masih menghantuinya.
2. Sangat kuatir terperosok kedalam dosa-dosa di masa mendatang
3. Sangat takut bila mendapatkan suul khatimah.
4. Sering bermuhasabah.

Mengenai penyebutan daging dan darah dalam QS. Al-Hajj 37, Ibnu Katsir menjelaskan hal ini karena kebiasaan masyarakat jahiliyah ketika berkorban mereka menggantungkan daging korban pada patung tuhan-tuhannya dan melumuri "tuhannya dengan darah korban. Lalu para Sahabat berkata: "Kami lebih berhak melakukan hal itu dari mereka". Maka turunlah ayat: "Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keredhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya"

Lalu beliau menyitir Hadits Nabi: "Sesungguhnya amalan sedekah itu telah sampai kepada Allah sebelum sampai ke tangan penerimanya, dan sungguh (pahala) dari darah (kurban) itu telah sampai kepada Allah sebelum membasahi bumi". (HR.Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Dengan demikian hal terpenting dari ibadah kurban adalah sebagai penggemblengan jiwa untuk lebih bertaqarrub kepada Allah dan memperbaiki kualitas takwa kita. Wallahu a'lam bissawab.

No comments: